Sahabat dalam Cahaya

Oleh: Agus Yulianto
Gambar Naskah

“Kuingat Engkau saat alam begitu gelap gulita,

dan wajah zaman berlumuran debu hitam,

Kusebut nama-Mu dengan lantang di saat fajar menjelang,

dan fajar pun merekah seraya menebar senyuman indah.”

Itulah bait yang sering aku ucapkan setiap kali aku merasa hampa. Syair itu seperti menuntunku pulang pada diri sendiri, kepada Dia yang tak pernah meninggalkan. Bulan Ramadhan tahun lalu terasa berbeda. Tepat di bulan suci lalu, aku kembali diingatkan betapa berharganya napas kehidupan yang masih kuhirup ini.

Banyak kisah tergores dalam perjalanan waktu. Ada tawa, ada luka, ada peluh yang menetes bersama doa. Namun setiap lelah selalu kutambatkan pada sujud panjang, pada percakapan lirih antara aku dan Penciptaku. Dalam setiap tangis yang jatuh di sepertiga malam, aku menemukan keindahan yang tak dapat digambarkan oleh kata.

Aku bersyukur, Allah tidak membiarkan aku berjalan sendirian di dunia yang fana ini. Ia mengirimkan orang-orang baik, teman dan sahabat yang menjadi pelipur lara di tengah padatnya kehidupan. Bersama mereka, hari-hariku berwarna. Bekerja, tertawa, bernyanyi, bahkan sekadar duduk-duduk menikmati sore di tepi jalan sambil berbincang ringan.

Namun, di tengah semua keceriaan itu, ada ruang kosong dalam hatiku. Sebuah kehampaan yang sulit kujelaskan. Aku merasa seperti berdiri di tengah keramaian tapi tak benar-benar dilihat. Hingga suatu hari, aku bertemu seseorang—seorang sahabat baru yang anehnya menarik perhatianku sejak awal.

Dia terlihat angkuh, dingin, bahkan sedikit sombong. Tapi entah mengapa aku yakin, di balik tatapan tajamnya, tersimpan hati yang lembut. Aku mencoba mendekatinya perlahan, mengirimkan pesan-pesan singkat berisi motivasi setiap kali ia tampak murung. Sayangnya, dugaanku tak semudah kenyataan. Ia tetap menutup diri, membangun dinding pembatas yang tinggi, sehingga sulit kutembus.

Rasa lelah mulai menggerogoti. Aku bertanya pada diri sendiri, "Apakah aku salah? Mengapa aku memaksakan diri untuk dipahami oleh seseorang yang bahkan tak ingin membuka hatinya?”

Akhirnya, aku memilih diam. Kembali menata hati yang sempat berdebu. Aku menulis, mencoba menuangkan kegelisahan dalam kata, tapi tetap saja pikiranku berlari padanya. Hingga suatu pagi setelah salat subuh, aku mendengarkan tausiah seorang ustaz di televisi. Suaranya menenangkan, pesan-pesannya menembus dada. Tanpa sadar, aku tertidur.

Dalam tidur itu, aku bermimpi berada di tepi sebuah telaga yang jernih. Di sekitarnya tumbuh pepohonan dengan buah-buah berwarna cerah. Angin berembus lembut, menebarkan aroma damai. Tiba-tiba, dua orang ustaz berjalan mendekat—mereka mengenakan jubah putih bersih. Wajah mereka bercahaya, lembut tapi tegas. Salah satunya menatapku dan berkata, “Kamu terlalu berlebihan dalam mengejar dunia.”

Aku tertegun. Kata-katanya seperti panah menembus relung hatiku. Aku menangis, seolah semua beban selama ini luruh begitu saja. Lalu ustaz itu kembali berkata, “Kenapa kau jarang mengingat Allah? Jadikanlah Dia sahabat setiamu. Karena hanya Dia yang tak akan pernah meninggalkanmu.”

Kalimat itu menggema dalam jiwaku bahkan setelah aku terbangun. Aku sadar, selama ini aku terlalu sibuk mengejar bayangan-mengharap kehadiran manusia yang bisa pergi kapan saja—sementara aku lupa bahwa ada Dia yang selalu hadir tanpa diminta.

Sejak hari itu, aku belajar. Belajar untuk tidak menggantungkan kebahagiaan pada manusia, karena manusia bisa hilang, tapi Allah tak pernah meninggalkan. Aku menulis refleksi dalam catatan kecilku.

“Dunia terlalu sempit untuk dijadikan sandaran. Semua yang ada di dalamnya hanyalah titipan, termasuk sahabat. Maka jangan pernah berharap pada yang fana, tapi bersahabatlah dengan Yang Kekal.”

Aku teringat sebuah hadist, yang berbunyi:

“Seseorang akan mengikuti agama temannya. Maka perhatikanlah dengan siapa engkau berteman.” (HR.Tirmidzi)

***

Sahabat sejati bukanlah mereka yang selalu hadir di setiap waktu, tapi mereka yang menuntunmu mendekat kepada Allah. Persahabatan bukan sekadar tawa, makan bersama, atau berbagi rahasia, tetapi tentang saling menegur dalam kebaikan, saling mendoakan dalam diam.

Kini aku tidak lagi mencari apa itu sahabat. Aku pernah dikecewakan oleh makna sahabat, dan aku tak ingin lagi memaknai sahabat sebatas kehadiran manusia. Aku hanya menunggu, siapa yang mau menjadi sahabat sejati-sahabat yang mengenalkanku pada cahaya.

Dan aku temukan satu nama: Allah.

Dialah sahabat yang paling setia, yang selalu mendengarkan bahkan ketika aku hanya diam. Dialah penawar dari segala kegelisahan. Ketika aku rindu, aku hanya perlu membuka Al-Qur’an. Di sanalah aku temukan kedamaian yang tak terganti.

Kini, setiap kali aku menatap langit malam yang bertabur bintang, aku tersenyum. Ada wajah rembulan di sana—bukan wajahku, bukan wajah siapa-siapa—tapi cahaya yang mengingatkanku pada satu hal, bahwa dalam kesepian sekalipun, aku tak pernah benar-benar sendiri.

Karena ada satu sahabat yang tak pernah pergi.

**

Sejak mimpi itu, aku mulai menata ulang langkahku. Setiap pagi, aku menatap cermin dan berkata pada diri sendiri, “Berhentilah mencari sosok untuk bersandar, sebab sandaran terbaik adalah sujud.”

Hari-hariku tak lagi sama. Aku lebih sering menghabiskan waktu di mushala kecil di belakang rumah. Di sana, antara aroma karpet lembap dan bayangan cahaya yang menembus kisi jendela, aku menemukan ketenangan yang dulu kucari di luar diri. Bukan karena dunia berubah, tapi karena cara pandangku terhadap dunia telah berbeda.

Teman-temanku masih sama—ramai, jenaka, sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Kami masih bertemu, berbagi tawa, bercanda tentang masa depan, tentang cita-cita yang kadang terasa absurd. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku tahu ada ruang yang hanya bisa diisi oleh Tuhan. Ruang sunyi yang tidak bisa dijangkau oleh kata-kata manusia.

Kadang aku masih mengingat sahabat yang dulu membuatku gelisah. Tapi kali ini, tidak dengan rasa kecewa. Aku tersenyum setiap kali mengingat caranya menutup diri. Mungkin dia juga sedang belajar, seperti aku—belajar menemukan Tuhan melalui caranya sendiri. Tidak semua orang mampu mengungkapkan luka dengan cara yang sama. Ada yang berdoa dalam diam, ada yang menangis dalam senyum.

Suatu malam, saat langit begitu cerah dan rembulan menggantung sempurna di antara awan, aku kembali menulis. Pena itu terasa ringan, mengalir seperti doa yang lama tertahan.

“Sahabat sejati bukanlah mereka yang selalu hadir di sisi,

Tetapi mereka yang menuntun jiwa kita untuk mengenal Ilahi.

Bila suatu saat mereka pergi,

Biarlah yang tertinggal hanya doa, bukan luka.”

**

Sejak saat itu, aku berjanji pada diriku sendiri: jika suatu hari aku bertemu lagi dengan sahabat baru, aku akan menyapanya bukan dengan basa-basi, tetapi dengan ketulusan. Aku akan belajar memberi tanpa mengharap kembali. Karena aku paham, cinta dan persahabatan yang tidak disandarkan pada Allah akan selalu berujung kehilangan.

Kini aku lebih tenang. Aku belajar mencintai dengan cara yang lebih sederhana, dengan mendoakan dia. Aku mencintai dunia tanpa menggenggamnya terlalu erat. Aku mencintai manusia tanpa berharap mereka selalu mengerti aku.

Dan di tiap langkahku, aku selalu berusaha membawa sepotong cahaya dari-Nya. Cahaya yang menuntunku ketika dunia terasa gelap, ketika segala sesuatu tampak menjauh, bahkan ketika diriku sendiri hampir tak kukenali.

Setiap kali aku menatap langit dini hari, aku seolah mendengar bisikan lembut dari hati,

“Jika kau ingin sahabat yang tak pernah meninggalkanmu, Temuilah Aku di sepertiga malam.”

Di sanalah aku menemuinya, Sang Sahabat Sejati.

Dialah yang mengisi sunyi dengan makna, menukar tangis dengan tenang, dan menjadikan luka sebagai jalan pulang.

Kini, aku tidak lagi takut kehilangan siapa pun. Karena aku telah menemukan yang tak mungkin pergi.

**

Bionarasi:

Agus Yulianto. Suka menulis cerpen, cernak, puisi dan esai. Seorang guru swasta di SMK Wikarya Karanganyar.

Buku antologi puisi terbarunya Perjamuan Kopi di Kamar Kata (2018), Prosa Pendek Pengkhianatan (2018), kumpulan esai Pendidikan Abad 21 Program Pascasarjana UPI (2018), Buku terbarunya kumpulan esai Gagasan Guru Konyol Gado-gado Pendidikan, oleh Natural Media Publishing(2018), Buku duet motivasi The Notes of Love (2019) Penerbit OASE Pustaka Solo, Antologi Semarak Sastra Malam Minggu Sepasang Camar Simalaba Penerbit Perahu Litera (2018), Antologi kumpulan esai Aku, Buku dan Masa Depanku Penerbit Diva Press (2019), Selain itu juga menulis kisah memoar di penerbit DIOMEDIA; kisah Memoar Bahagia Bersama Ibu Tercinta, Bahagia Bersama Ayah Tercinta, Pegiat Literasi, Sobat Ambyar, dan lain sebagainya.

Selain itu beberapa Cerita Pendek, Cerita Anak, Puisi, dan beberapa esainya pernah dimuat di koran Harian Umum Solopos, Harian Umum Joglosemar, Majalah on line Simalaba, Majalah Nur Hidayah, Nusantara News, Flores Sastra, Majalah Hadila, portal Islam Pos dan lain sebagainya.

Buku Terbarunya Kumpulan Cerita Pendek Secangkir Cinta Cappucino (2019) Penerbit Surya Pustaka Ilmu, Buku kumpulan Puisi Lelaki, Hujan, dan Sepotong Kisah (2019) Penerbit Bitread, dan Antologi Cerita Pendek Amygdala (2020) IMP Indiva Media Kreasi, Buku Kumpulan Cerita Anak Pelangi di Kemuning Penerbit Era Intermedia sebagai buku pengayaan. Buku terbarunya Kumpulan Cerita Misteri Ruang Sebelah (2024) Penerbit Bookies Literasi.

Penulis dapat dihubungi:

NO HP 089619344170

email: yuliagusyulianto@gmail.com.

Alamat: Dusun Ngemplak RT 02 RW 02 Kelurahan Desa Suruh Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah.