SEPENGGAL RINDU UNTUK AYAH

Oleh: Alda Fildza Amima
Gambar Naskah
Namaku Adzfilia. Aku lahir di kota kecil bernama Pati. Sejak kecil, hidupku telah diwarnai oleh kehilangan yang bahkan tidak pernah kupinta. Ayah dan ibu berpisah ketika aku baru berusia lima tahun. Sejak hari itu, kasih sayang seorang ayah hanya menjadi cerita yang kerap kudengar dari teman-teman.
Aku tumbuh di bawah kasih sayang ibu, kakek, dan nenek. Tiga sosok yang mengajariku arti cinta tanpa pamrih. Terutama kakek, ia memperlakukanku layaknya putri kecilnya sendiri. Tapi tetap saja, ada ruang kosong di hati yang tak pernah benar-benar terisi, sebuah ruang bernama ayah.
Teman-temanku sering berkata bahwa cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Aku hanya tersenyum setiap kali mendengar itu. Bagiku, cinta pertamaku adalah perjuangan seorang ibu yang tak pernah menyerah meski harus menjadi satu-satunya pelindung dalam badai hidup kami.
Delapan tahun setelah perpisahan itu, ibu memutuskan menikah lagi. Aku menolak. Aku takut kehilangan sosok ayah untuk kedua kalinya. Hari pernikahan itu bahkan kulewati jauh dari rumah, agar aku tidak membuat keributan.
Saat pulang, semuanya sudah berubah. Ibu kini telah menjadi istri orang lain. Tangisku pecah, aku marah dan kecewa. Aku mengurung diri dalam kamar, menolak bicara dengan siapa pun. Hingga Budeku datang dan menenangkanku, β€œNduk, ini semua demi kebaikanmu. Kamu anak pintar. Kalau kamu kuliah, siapa yang bantu ibumu biayai?” ujarnya.
Kata-kata itu seolah menamparku pelan. Perlahan, dinding keras di hatiku mulai retak. Aku mulai belajar menerima kenyataan. Ternyata punya ayah baru tidak seburuk yang kubayangkan. Ayah sambungku begitu sabar, hangat, dan memperlakukanku seolah aku darah dagingnya sendiri.
Namun, hidup selalu punya cara untuk menguji luka lama. Saat aku duduk di bangku SMA, takdir mempertemukanku kembali dengan ayah kandungku. Pertemuan itu tidak seindah bayangan di benakku. Kupikir, setelah sekian tahun, ia akan berubah lebih lembut, lebih hangat, lebih rindu. Tapi ternyata, waktu tidak selalu membawa kedewasaan.
Aku lulus SMA tahun 2021. Tahun yang seharusnya penuh harapan, tapi justru menjadi tahun paling kelam. Dari tiga puluh delapan siswa di kelasku, hanya aku yang tidak lolos SNMPTN maupun SBMPTN. Dunia seolah berhenti berputar. Aku malu, aku takut keluar rumah, dan merasa menjadi yang paling bodoh di antara mereka semua.
Hingga suatu sore, ketika ayah sambungku sedang berada di sawah, seseorang datang kepadanya. Orang tersebut adalah ayah kandungku. Ia tidak datang untuk memelukku, tetapi hanya menitip pesan kepada ayah sambungku, β€œSuruh Adzfilia datang ke rumah. Kalau dia mau kuliah.”
Ada sesuatu di dalam hatiku yang bergetar, antara rindu dan ragu. Tapi aku tetap pergi. Kupikir, mungkin inilah saatnya memperbaiki hubungan yang dulu hancur. Barangkali setelah bertahun-tahun, ia benar-benar ingin menebus masa lalu.
Aku menatap sekitar begitu sampai di depan rumah. Tempat itu masih sama, dingin dan asing.
Aku mengetuk pelan, lalu terdengar langkah dari dalam. Pintu terbuka sedikit, dan di sana berdiri seorang perempuan yang kini kupanggil ibu tiri. Wajahnya terlihat kaget, tapi datar. Ia memandangku sekilas, lalu tanpa berkata apa pun, menutup kembali pintu itu.
Kuputuskan untuk menunggu di teras.
Waktu berjalan begitu lambat. Setiap detik terasa seperti jam, dan setiap menit seperti ujian kesabaran. Angin sore membawa debu dan suara ayam dari halaman belakang, tapi tidak ada tanda-tanda dari Ayah.
Aku tahu ayah ada di dalam. Aku mendengar suara televisi, dan samar-samar suara batuknya yang dulu begitu kukenal. Tapi ia tidak keluar, tidak menanyakan kabarku, tidak memanggil namaku.
Aku menunggu. Satu jam ..., dua jam ..., hingga matahari mulai tenggelam di balik atap rumah itu, membuat bayangan tubuhku di teras semakin panjang. Namun ayah tetap tak kunjung datang. Rasanya seperti berdiri di depan pintu masa lalu yang sudah benar-benar menolak dibuka.
Hatiku hancur perlahan. Aku memandangi pintu itu sekali lagi, berharap keajaiban kecil terjadi: Ayah tiba-tiba muncul, tersenyum, dan berkata ia rindu. Tapi tidak, hanya hening yang menjawab.
Aku akhirnya melangkah pergi dengan langkah gontai, air mata jatuh tanpa bisa kutahan. Jalanan sore itu tampak kabur oleh tangis yang tak lagi bisa kubendung.
Langit sore menunduk, seolah ikut menangis bersamaku. Aku tak berani menatap siapa pun. Setiap langkah terasa seperti membawa serpihan hati yang tertinggal di teras rumah itu, teras yang tak pernah mengizinkanku masuk. Aku pulang dengan dada sesak dan mata bengkak.
Hari itu aku sadar, bahwa tidak semua orang yang kita rindukan akan menyambut rindu yang sama. Ada pertemuan yang bukan untuk memeluk, tapi untuk mengikhlaskan.
Sesampainya di rumah, ibu terkejut melihat wajahku yang sembab. Ia tak bertanya banyak, hanya memelukku erat. Dalam pelukan itu, semua tangisku pecah.
β€œBu... Ayah nggak mau menemuiku,” ucapku lirih di antara isak.
Ibu tak berkata apa-apa. Ia hanya mengusap punggungku pelan. Dan di samping ibu, ayah sambungku berdiri dengan tatapan lembut, tatapan yang membuatku merasa tidak sepenuhnya kehilangan.
β€œNduk, kadang Allah nggak kasih apa yang kita mau, karena Dia mau kasih yang lebih baik,” katanya lirih sambil menepuk bahuku.
Malam itu aku tidak banyak bicara. Aku hanya diam di kamar, menatap langit-langit dan berdoa dalam hati. Jika dulu aku berdoa agar ayah menemuiku, kali ini aku berdoa agar Allah menguatkanku untuk tidak berharap pada yang tak lagi ingin kutemui.
Hari-hari berikutnya, aku mulai bangkit. Perlahan, tapi pasti. Aku belajar lagi, mendaftar kuliah lagi, mencoba lagi meski sempat ada rasa takut, rasa minder, dan rasa tidak percaya diri. Setiap kali aku hampir menyerah, aku selalu teringat wajah ibu dan ayah sambungku yang tidak pernah berhenti mendoakanku.
Hingga suatu sore, kabar itu datang. Namaku tercantum di daftar mahasiswa baru Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, jurusan Perbankan Syariah. Aku menangis sejadi-jadinya. Kali ini bukan karena luka, melainkan karena bahagia yang tak mampu diucapkan.
Hari itu, aku berlari ke pelukan ibu. Ia menangis sambil tersenyum. Ayah sambungku pun menatapku dengan mata berkaca-kaca. β€œLihat, Nak,” katanya lembut, β€œAllah tidak pernah menutup jalan bagi orang yang mau berusaha.”
Dari situlah aku belajar bahwa takdir yang menyakitkan pun bisa menjadi jalan menuju kemuliaan. Setiap air mata yang jatuh, tak pernah sia-sia di hadapan Allah. Kasih sayang sejati tidak selalu lahir dari darah yang sama, tapi dari hati yang tulus mencintai tanpa pamrih.
Waktu berlalu. Hari-hari di kampus menjadi saksi bagaimana aku membangun diriku kembali dari serpihan. Aku belajar, jatuh, lalu bangkit lagi. Tak jarang, setiap kali melihat ayah teman-temanku datang ke wisuda atau acara kampus, dadaku kembali bergetar. Tapi kali ini, aku sudah bisa tersenyum tanpa meneteskan air mata.
Aku sadar, rindu tak selalu harus dibalas. Kadang, rindu hanya perlu diikhlaskan karena di balik keikhlasan itu, ada kedewasaan yang tumbuh pelan-pelan.
Setelah menyelesaikan S1 di UIN Raden Mas Said Surakarta, aku melanjutkan langkah ke jenjang Magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menekuni Ekonomi Islam bidang yang mengajarkanku tentang keadilan, keikhlasan, dan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Di kampus ini aku belajar bahwa setiap proses memiliki waktu, setiap luka memiliki hikmah, dan setiap air mata memiliki tujuan.
Malam-malam di Yogyakarta kulewati dalam kesunyian kamar kos. Di antara buku-buku dan lantunan doa pelan, aku berbicara pada Tuhan dengan cara yang paling sederhana, melalui hati yang mulai belajar tenang.
Kini, aku tak lagi meminta agar ayah menemuiku. Aku hanya memohon agar Allah menjaganya, memberinya cahaya, dan memaafkannya seperti aku yang perlahan belajar untuk memaafkan dia.
Dan dari setiap doa yang naik ke langit itu, aku menemukan satu hal, "Rindu yang paling sempurna bukan kepada manusia, tapi kepada Sang Pencipta dan Rasul-Nya."
Kini aku tak lagi merasa kekurangan. Aku dikelilingi oleh kasih sayang yang nyata dari ibu yang kuat, ayah sambung yang penuh kasih, dan Allah yang tak pernah sekalipun meninggalkanku.
Di teras yang tak membuka pintu itu, dulu aku belajar tentang kecewa. Namun dari setiap air mata yang jatuh di jalan pulang, aku belajar tentang ikhlas.
Dan aku tahu, perjalanan ini belum berakhir. Tapi untuk pertama kalinya, aku melangkah bukan karena luka melainkan karena cinta.
Tamat.
Editor: Rumaisha

Profil Penulis:

Alda Fildza Amima seorang gadis asal Prawoto, Sukolilo, Pati. Ia memiliki ketertarikan besar dalam dunia kepenulisan. Ia senang menulis kisah inspiratif dan artikel jurnal sebagai bentuk kontribusi kecil di bidang akademik. Dua karya jurnalnya telah berhasil dipublikasikan di laman SINTA, menunjukkan dedikasinya dalam dunia akademik.

Semangat dan ketekunannya membuahkan hasil gemilang. Pada tahun 2025, ia resmi menjadi wisudawan cumlaude dari UIN Raden Mas Said Surakarta. Bagi Alda, pencapaian tersebut adalah awal dari perjalanan panjang untuk terus belajar, berkembang, dan berbagi hal-hal baik melalui tulisan yang bermanfaat bagi banyak orang. Saat ini, ia melanjutkan pendidikan jenjang Magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.