Namaku Eva Lestari. Aku terlahir dari keluarga sederhana, anak perempuan pertama dari tiga bersaudara. Sebagai anak perempuan satu-satunya, aku dituntut untuk mandiri sejak dini. Aku membersamai kedua orang tuaku dari sejak awal perjuangan mereka. Mulai dari ikut merantau di wilayah orang yang jauh dari kerumunan masyarakat, hingga akhirnya mereka memilih untuk menetap di desa tempat aku tinggal saat ini.
Ayah dan Ibuku adalah orang yang pekerja keras. Mereka rela banting tulang demi menghidupi keluarganya. Perjuangan mereka tidak mengenal lelah, apalagi mudah menyerah. Mereka selalu mengusahakan apapun demi anaknya supaya kami bisa tumbuh menjadi anak yang hebat, mandiri dan tercukupi.
Beberapa tahun aku hidup di perantauan PT Sawit Sekayu Lubuk Linggau, aku melihat bagaimana kerasnya perjuangan orang tuaku untuk terus melangkah demi mengubah nasib keluarga ke arah yang lebih baik. Aku menyadari bahwa semua perjuangan orang tuaku adalah untuk anak-anaknya. Mereka berharap kami bisa tumbuh besar dengan hasil kerja keras dan keringat mereka yang berusaha mencari nafkah dengan cara halal dan baik.
Ayah dan Ibuku adalah orang tua yang tidak mau melihat anaknya senasib dengannya, sehingga mereka memperjuangkan anaknya supaya kami dapat menempuh pendidikan yang lebih tinggi dari pendidikan mereka. Dulu, mereka hanya bisa sekolah sebisanya sebab terhalang biaya.
Setelah beberapa tahun mereka merantau bersamaku, orang tuaku kemudian memutuskan berhenti merantau dan memilih pulang kampung ke tempat di mana ayahku dilahirkan. G.2 Dwi Jaya di Kota Lubuk Linggau.
Setelah setahun kami bertahan menjalani kehidupan di kampung ayah, akhirnya kami memutuskan untuk pindah ke kampung halaman ibuku di daerah Lempuing Jaya, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Kami tinggal di kampung ibu pada tahun 2021. Kedua orang tuaku bekerja sebagai petani untuk menghidupi anaknya yang sudah memasuki Sekolah Dasar (SD). Mereka kemudian memutuskan untuk merantau dan menitipkan aku pada kakek dan nenek. Semua hal ini mereka lakukan demi anaknya bisa tetap sekolah dan berjuang menempuh pendidikan.
Perjuangan kedua orang tuaku yang memilih merantau jauh dari anaknya membuat kami sadar, bahwa aku sebagai anak dan ayah ibuku sebagai orang tua, kami sama-sama berjuang dari kejauhan. Sebagai anak, aku perlu terus belajar, dan sebagai orang tua, mereka perlu terus berjuang tanpa mengeluh. Menyadari hal ini, aku membulatkan tekad untuk berjuang menempuh pendidikan demi membanggakan mereka berdua. Ayah dan Ibu pernah berpesan kepadaku, “Belajarlah tanpa merasakan kepuasan, buktikan bahwa kamu bisa menjadi anak yang berpendidikan.”.
Kata-kata itu membuat aku tersentuh dan dan bepikir bahwa aku perlu membuat orang tuaku bangga dengan perjuanganku menuntut ilmu. Orang tuaku tak pernah menuntut aku bisa segalanya dalam berproses, yang terpenting adalah aku mau belajar tanpa mengenal kata puas.
Tepat saat kelulusan SDku, orang tuaku memilih pulang dari perantauan dan memutuskan untuk bertani di kampung halaman. Saat itu juga orang tuaku meminta aku melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren As-Shiddiqiyah. Pondok pesantren ini bertempat di Desa Lubuk Seberuk, Kec. Lempuing Jaya, Kab. Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Dengan menuntut ilmu di sana, aku berharap bisa memperoleh dua hal besar, yakni ilmu dunia sekaligus ilmu akhirat.
Akhirnya aku mengikuti permintaan orang tuaku untuk melanjutkan perjuanganku dalam menuntut ilmu di Pesantren. Ini adalah kali kedua perjalananku menuntut ilmu tanpa ditemani orang tau. Menurutku hal ini sangat berat, karena di Pesantren aku tidak punya kerabat ataupun teman dekat. Bagiku, ini adalah refleksi perjuangan sesungguhnya karena menuntut ilmu jauh dari orang tua adalah bentuk pengorbanan, keikhlasan serta tanggung jawab. Mengetahui langkah kakiku yang cukup berat, orang tuaku kembali berpesan kepadaku:
“Tuntutlah ilmu setinggi mungkin, tidak ada yang tidak mungkin untuk orang yang mau berusaha, Nak.”
Orang tuaku juga berkata, “Tak perlu kamu memikirkan biaya pendidikanmu, karena itu sudah tanggung jawab kami sebagai orang tua. Tugasmu hanya mendoakan orang tuamu untuk berjuangan. Agar kamu bisa belajar dan bisa menggapai cita cita di masa depan”.
Waktu terus berjalan hingga akhirnya aku bisa merasakan saat di mana aku lulus dari menempuh pendidikan di sekolah dan asrama Ash-Shiddiqiyah. Aku memutuskan untuk pulang dari Pondok Pesantren kemudian.
Setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), sebenarnya aku sudah punya rencana untuk bekerja, tetapi rencanaku runtuh seketika sebab Ayah dan Ibu menginginkan aku untuk melanjutkan pendidikan sampai sarjana. Aku sempat menolak karena aku tidak mau terus menerus membebani kedua orang tuaku, terutama mengingat terbatasnya perekonomian keluarga. Bukan karena aku tidak ingin belajar, tapi karena aku menyadari semakin tinggi pendidikan semakin besar biaya yang dibutuhkan.
Orang tuaku tidak mau menunjukan kesulitan itu, mereka justru memberikan wejangan kepada anaknya, “Usaha tidak akan pernah menghianati hasil, Nak ….”. Kata-kata itu terus kuingat sampai saat ini, dan menjadikannya pendoman dalam menjalani kehidupan, mengingat kerja keras orang tuaku di bawah terik sinar matahari tanpa mengenal kata lelah dan mengeluh Apa pun akan mereka usahakan agar aku bisa melanjutkan sekolah hingga pendidikan tinggi.
Aku tidak mau mengecewakan kedua orang tuaku, dengan langkah pasti dan tekat yang kuat aku memberanikan diri untuk mendaftar di Perguruan Tinggi Institut Agama Islam Nusantara As-Shiddiqiyah desa Lubuk Seberuk. Alhamdulillah Allah memberikan kemudahan atas segala niatku untuk membahagiakan kedua orang tuaku. Beruntungnya, di saat aku ingin mendaftar perguruan tinggi, ternyata pendaftarannya gratis. Sesampainya di rumah, aku langsung menceritakan kabar baik ini kepada orang tuaku dengan suara yang sangat lantang dan penuh haru. Tentu aku sangat bahagia. Aku pulang membawa kabar baik untuk mereka. Ayah dan Ibu sangat bersyukur sekali atas informasi yang kuperoleh.
“Ayah, Ibu, akhirnya semua doa dan perjuangan kita dikabulkan Allah SWT. Aku mendaftar kuliah di Institut Agama Islam Nusantara (IAIN) Ash-Shiddiqiyah dengan gratis tanpa ada biaya administrasi sedikitpun, dan Insyaa Allah aku bisa diterima di kampus itu,” ucapku lantang, berbahagia.
“Alhamdulillah, Nak, Allah SWT mendengar doa Kita. Ayoo, semangatlah dalam belajar dan terus kejar mimpimu setinggi mungkin,” jawab mereka bangga.
Dari kejadian ini aku percaya bahwa semua mimpi bisa kita wujudkan selagi kita memiliki niat untuk mencoba dan berusaha menggali hal-hal baru. Saat ini aku sedang menikmati prosesku di Perguruan Tinggi Institut Agama Islam Nusantara (IAIN) As-Shiddiqiyah di Desa Lubuk Seberuk dengan segala pengorbanan dan jerih payah orang tua. Semoga Allah SWT selalu mempermudahkan segala urusanku dan keluarga. Aamiin!
Tamat.
Editor: Sifa Amaliyanah
Profil penulis
Namaku Eva Lestari. Aku lahir di Karya Sakti, 06 Mei 2006. Aku adalah seorang anak perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara. Aku mempunyai tanggung jawab besar untuk mengangkat derajat kedua orang tua. Kini aku adalah salah satu mahasiswa yang sedang berproses di Perguruan Tinggi Institut Agama Islam Nusantara (IAIN) As-Shiddiqiyah. Aku mempunyai cita-cita dan mimpi yang tinggi untuk kesuksesan di masa depan. Semoga tulisan ini bisa menginpirasi teman-teman yang sedang berproses dalam menuntut ilmu tapi terhalang ekonomi kelurga. Percayalah bahwa Allah tidak akan mempersulit hamba-Nya yang sedang berusaha.