Ibu, sekian hasta waktu berlalu pun melagu. Kicauanku tak lagi membangunkan cahaya mentari yang kugenggam senja kemarin. Angin pun jengah membujuk lelahku dengan canda atau sekedar celoteh sebagai pengisi ruang hampa.
Ibu, telah hilang butiran-butiran embun yang kupilin karena terik membakarnya saat terlelap dalam fana dunia. Tak bersisa tak bernyawa selain jelaga nganti tak tau diri.
Ah, ibu... dimanakah arah yang kau ceritakan lewat memoar dari aliran air susumu? Akankah layak putra semata wayangmu melahap dahaga demi detik yang memintal jarum jam?
Sekalipun itu ibu, satu hal yang tak lekang lenyap dari pikirku. Cerita tentang arah kompas ke perebahan Hakiki. Yang tiap-tiap sendi harus kupercayai. Akankah ini sekedar penunggu hari untuk menjadi kenari dan mengitari bumi bahkan lorong-lorong yang kau ceritakan saban hari?
Indralaya, 2012
Wahyu Wibowo, pemuda yang sejak remidial Bahasa Indonesiaβpadahal saat ini, nilai Bahasa Arab dan Bahasa Inggris terbilang fantastisβdi kelas XI SMA mulai gemar belajar menulis. Keprihatinan hati karena tak berhasil melewati rentang standar nilai di sekolah menjadi cambuk yang terus membuatnya perlahan ingin mengenal Bahasa Indonesia. Kini, belajar di Kota Yogyakarta.