Namaku Muhamad Pujiono. Aku lahir rumah kecil yang lebih sering dihitung dengan kekurangan dari pada kelebihan. Sejak kecil aku hidup pas-pasan, untuk makan, untuk sekolah, ataupun untuk bertahan sampai esok. Aku melihat bagaimana ayah ibuku bekerja tanpa banyak bersuara, tapi aku tahu di balik diam mereka ada letih yang tak tertahan. Mereka bukan orang yang pandai merangkai kata, tapi tangan mereka berbicara lewat keringat yang diusapnya. Dari mereka-lah aku belajar satu hal: hidup boleh keras, tapi hati jangan sampai patah. Namun, tetap saja, di saat teman-temanku melangkah ringan menatap masa depan, aku sering menunduk diam-diam sambil bertanya,
โApa anak miskin sepertiku pantas bermimpi menjadi sarjana?โ
Pertanyaan itu seperti duri halus dan tak terlihat, tapi menusuk di setiap keheningan malam.
Aku tumbuh dengan mimpi yang besar di tubuh yang sering merasa kecil. Bukan karena aku tidak percaya diri, tapi karena kenyataan yang berkali-kali membuatku ragu. Ada hari-hari ketika aku ingin menyerah sebelum berjuang, bukan karena malas, melainkan karena takut mengecewakan orang tua yang sudah terlalu lelah. Aku pernah menangis diam-diam di sudut kamar, takut kuliah hanya akan jadi tanggungan baru bagi keluarga. Aku takut menjadi anak yang minta banyak, sementara orang tuaku bahkan harus menahan banyak hal untuk bisa menyekolahkanku. Tapi di sisi lain, ada sesuatu di dadaku yang terus menyala: keinginan untuk mengubah nasib keluarga, bukan dengan marah pada Tuhan, melainkan dengan membuktikan bahwa doa orang tua tidak pernah sia-sia.
Kampus Tercinta : Di IAI Nusantara Ash-Shiddiqiyah, OKI, Sumatera Selatan.
Sejak diterima di S1 Ekonomi Syariโah, aku sadar perjalanan ini bukan jalan yang lurus nan indah. Ini adalah perjalan panjang yang menuntut penuh kesabaran. Bagi ku, setiap hari adalah ujian: uang saku yang sering kali hanya cukup untuk membeli seliter bensin, langkah ke kampus yang kadang terasa berat karena perut kosong, dan malam-malam panjang ketika aku harus menelan malu karena belum bisa membayar biaya kuliah tepat waktu. Ada saat aku duduk di kelas sambil menahan gemetar, bukan karena pelajaran sulit, tapi karena beban hidup yang tak semua orang bisa mengerti. Aku belajar menahan lapar tanpa menyalahkan siapa-siapa. Aku belajar senyum meski hati rapuh. Aku belajar kuat walau kadang ingin menyerah selamanya.
Dan di balik bangku kuliah itu, ada kenyataan lain yang tak bisa kulupakan. Aku dan ayahku mencari pekerjaaan sampingan di PT sawit, menurunkan pupuk sawit di bawah terik yang tak punya belas kasihan. Cuacanya panas sekali, panas yang menempel di kulit, membuat napas terasa berat, dan keringat turun seperti hujan kecil dari tubuh kami. Kadang tanganku perih, punggungku seperti ingin patah, tapi aku menunduk dan terus bekerja. Aku melihat ayahku juga begitu, ia diam, kuat, tanpa mengeluh. Di tengah ladang yang luas dan debu pupuk yang beterbangan itu, aku sering menatap ayah, lalu menahan air mata. Rasanya ingin berkata, โPak, maaf kalau aku masih jadi beban.โ
Maaf kalau mimpi kuliahku membuatmu harus berkeringat lebih banyak.
Tapi ayah hanya terus bekerja, seolah ia ingin berbicara tanpa kata:
โTidak apa-apa, Nak. Teruslah sekolah.
Dari sinilah aku benar-benar paham, ada cinta yang tidak selalu diucapkan, tapi hidup dalam perjuangan.
Hari-hari terus berlalu, hingga kuasa Allah SWT menghampiriku dengan cara yang paling lembut: aku mendapatkan Beasiswa KIP, Kartu Indonesia Pintar. Saat kabar itu kuterima, rasanya seperti langit menurun sebentar untuk memelukku. Aku tidak bisa menjelaskan betapa gemetarnya tanganku waktu itu. Aku menangis bukan karena sedih, tapi karena akhirnya aku merasa dilihat. Seolah Allah berkata, โTenang ya, Nak. Aku tahu kamu berjuang.โ Beasiswa itu bukan sekadar bantuan biaya. Bagiku, itu adalah napas baru, cahaya di lorong gelap, dan bukti bahwa doa yang dipanjatkan dalam sunyi memang benar-benar sampai. Aku memeluk ibuku sambil terisak. Aku melihat matanya berkaca-kaca, seperti menahan sesuatu yang terlalu lama ia simpan dalam dada: harapan. Dan yang paling menyesakkan sekaligus menguatkan, aku teringat ayah di ladang sawit- keringatnya, lelahnya, dan tangannya yang kasar. Aku ingin berlari memeluknya dan berkata,
โPak, Allah menolong kita. Aku bisa lanjut, Pak.โ Hari itu aku tahu, perjuanganku bukan lagi hanya tentang diriku, tapi tentang mereka yang diam-diam menggantungkan hidup pada mimpi ini.
Di sela-sela kuliah itu, aku menyimpan mimpi yang terus menyala, bahkan lebih panas dari rasa takutku sendiri: membangun usaha peternakan sapi Berkah farm Sm LbS dari nol. Dari benar-benar perintis, dari tanah kosong, dari tangan kosong. Aku membayangkan kandang sederhana yang tumbuh sedikit demi sedikit, sapi-sapi yang sehat, dan usaha yang halal, yang kelak bisa mengangkat keluargaku dari hidup yang terlalu sering menahan. Tapi mimpi itu berat. Modalnya besar, jalannya panjang, dan aku berkali-kali bertanya pada diri sendiri, โDari mana aku mulai?
Apa mungkin anak miskin seperti aku memegang usaha sebesar itu?
Ada malam-malam ketika mimpi itu terasa jauh, seperti bintang yang indah tapi seolah tak bisa ku gapai. Tetapi anehnya, justru karena jauhnya, aku jadi tak ingin berhenti menatapnya.
Aku menata langkah pelan-pelan. Aku belajar lebih giat karena aku sadar aku tidak punya banyak pilihan selain menjadi kuat. Aku mencari pengalaman, mengamati peternak yang lebih dulu berjalan, mencatat hal-hal kecil yang orang lain anggap sepele. Aku menabung dari sisa yang bahkan kadang nyaris tak ada. Ada banyak kegagalan. Ada banyak rencana yang jatuh sebelum sempat tumbuh. Kadang tubuhku lelah, kadang pikiranku ingin menyerah. Pernah aku duduk sendirian dalam gelap, menatap rumahku, lalu air mata jatuh tanpa suara-karena rasanya terlalu berat menjadi kuat terus-menerus. Tapi setiap kali hampir berhenti, wajah orang tuaku hadir di pikiranku. Aku ingat ayahku yang tetap berdiri di panasnya ladang sawit hanya demi rupiah yang kami butuhkan. Maka bagaimana mungkin aku menyerah duluan?
Dan hari ini, aku masih berjalan. Mimpiku belum sepenuhnya terwujud, tapi ia tidak lagi sekadar angan-angan, ia sudah menjadi arah hidupku. Beasiswa KIP yang Allah titipkan adalah pengingat bahwa aku tidak sendirian, bahwa langkah kecilku di jaga dari langit. Aku tidak melangkah hanya untuk keluar dari kemiskinan. Aku melangkah karena cinta: cinta kepada keluarga, cinta kepada masa depan yang ingin kutata dengan cara halal, dan cinta kepada Allah yang selalu memberi jalan bagi hamba-Nya yang mau berusaha. Jika suatu hari kandang sapi itu benar-benar berdiri dari keringatku sendiri, aku ingin sujud paling lama, lalu memeluk orang tuaku sambil menangis sejadi-jadinya-karena akhirnya, luka panjang ini berubah menjadi rezeki yang indah.
Tamat.
Editor: Ragiel JP
Profil Penulis
Dan bila kelak orang bertanya siapa aku, aku ingin menjawab dengan sederhana:
Aku Muhamad Pujiono. Anak dari keluarga miskin yang tidak pernah berhenti berharap. Anak yang pernah kepanasan di ladang sawit, pernah menangis di kamar sendiri, pernah takut pada masa depan-tapi tetap memilih berjalan. Karena aku percaya, mimpi yang dititipkan Allah tidak mungkin sia-sia jika dijemput dengan sabar, keringat, dan air mata yang ikhlas.